KATA merdeka belajar rasanya menjadi familiar di telinga kita sejak era pemerintahan Joko Widodo – Maruf Amin. Merdeka belajar adalah pembaharuan dunia pendidikan yang di gagas oleh Nadiem Anwar Makarim melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Sebagai menteri termuda ada semangat muda yang ia sisipkan dalam kata merdeka!.
Ketika penulis mendengar kata merdeka belajar rasa nya ada transferan spirit dan energi yang penulis tangkap. Gelora yang membara dalam dunia pendidikan termaktub dalam nomenklatur program yang kini sudah memiliki dua puluh episode.
Kedua puluh episode merdeka belajar ini berisi upaya-upaya mengeksplor potensi terbaik guru dan murid. Serta mengakselerasi keadilan dan kesetaraan dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Merdeka belajar juga berupaya mengejawantahkan Konstitusi kita Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Pasal 31 ayat 5. Sebagaimana disebutkan “Pemerintah Memajukan Ilmu Pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi niai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Frasa memajukan Ilmu Pengetahuan dan teknologi tentu harus merupakan rangkaian upaya penyelarasan modernisasi dunia pendidikan. Melakukan refleksi serta evaluasi apakah pendidikan kita sudah dipersiapkan untuk siap menaklukkan tantangan zaman.
Indonesia adalah bangsa yang besar dan memiliki sumber daya manusia yang melimpah. Ini merupakan aset yang harus dipersiapkan negara agar bisa dipanen di masa depan. Masa dimana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkambang.
Tahun ini Indonesia menjadi Presiden G20 dimana Indonesia berkesempatan sejajar dengan negara-negara besar dunia. Tentu kita tak boleh cepat puas dengan prestasi ini. Keterlibatan Indonesia dalam meja pertumbuhan ekonomi dunia harus juga sambil bersiap diri.
Tantangan implementasi
Merdeka Belajar sejatinya merupakan formulasi untuk menaklukkan tantangan zaman. Namun ternyata skenario merdeka belajar yang sudah dirancang sedemikian rupa juga dihadapkan dengan tantangan dalam mengimplementasikannya.
Berdasarkan riset yang dilakukan penulis dari berbagai literatur jurnal mengungkapkan tantangan yang paling besar dalam implementasi datang dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Berdasarkan Jurnal Ilmiah Kependidikan: Edu Cendikia yang ditulis Bakti Abdillah Putra dkk mengungkapkan tantangan dalam melaksanakan program MBKM yang paling utama adalah penjajakan dengan mitra. Pencarian mitra hingga komitmen untuk melaksakan MBKM.
Singkronisasi MBKM dilakukan bukan hanya dengan kampus atau program studi lain namun juga terhadap industri atau dunia kerja. Semua pihak berkolaborasi dan harus berangkat dari semangat yang sama yakni berinfestasi pada SDM melalui dunia pendidikan.
Selain datang dari dunia kampus tantangan juga datang dari sekolah. Penulis menganalisa suatu tantangan yang klasik yakni kesiapan SDM baik itu guru, murid serta para orang tua murid.
Bukan hal mudah memang merubah suatu hal yang menjadi kebiasaan dalam dunia pendidikan kita. Pola pengajaran yang sudah bertahun-tahun kita anut sedikit demi sedikit bertransformasi di bawah kepemimpinan Mas Menteri, begitu biasanya Nadiem disapa.
Guru punya tantangan untuk mengadaptasikan diri dan mempraktikkan pengalaman belajar mengajar yang baru. Untungnya skema itu diantisipasi oleh Kemendikbud melalui kurikulum merdeka dan flatform merdeka belajar yang bersamaan diluncurkan pada episode kelima belas.
Sambil guru terus mendalami transformasi pembelajaran guru juga perlu mentransfer pemahaman yang sama pada orang tua murid. Orang tua murid perlu memahami transformasi pendidikan yang kini sedang berlangsung. Harapannya merdeka belajar bukan hanya diterapkan disekolah tapi orang tua di rumah juga mengaplikasikannya.
Yang Muda Yang Memimpin
Tantangan dan hambatan merupakan rangkaian perjalanan untuk meraih tujuan bersama. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana kalimat yang disebutkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke empat.
Perlu keberanian, gagasan segar untuk menciptakan perubahan. Pelan tapi pasti Kemendikbud melalui kepemimpinan sang menteri milenial mempersiapkan perubahan itu melalui gerbang pendidikan.
Yang muda yang memimpin yang muda yang menjadi agen perubahan. Di usia tiga puluh delapan tahun sang menteri milinial melayani bangsanya dengan kerja-kerja cerdas.
Sebuah hasil survei nasional mengenai pandangan publik terhadap Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) dirilis oleh Lembaga survei Indikator.
Peneliti senior INDIKATOR Rizka Halida mengungkapkan berdasarkan survei sebanyak 58,7 persen responden menjawab tidak pernah mendengar nama Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim. "Popularitas dan kedisukaan Nadiem Makarim. Sebanyak 58,7 persen tidak mengetahui, 41,3 persen mengetahui.
Lebih lanjut Rizka menjelaskan, dari 41,3 persen responden yang mengetahui Nadiem, 72,6 persen di antaranya suka dengan Nadiem.
Sementara, 13,1 persen responden lainnya mengatakan tidak suka terhadap Nadiem.
Survei ini mencerminkan kerja nyata dari Nadiem sebagai menteri yang diawal masa jabatannya sempat diragukan. Memang kebijakan dunia pendidikan bukan kebijakan yang populer dan selalu menjadi buah bibir. Kenyataan itu menjadikannya bekerja dalam kesunyian.
Kinerjanya yang memuaskan yang menempatkannya bertahan diposisi menteri hingga saat ini. Dia lolos dari resuffle kabinet yang hingga Juli 2022 sudah dilakukan sebanyak tujuh kali.
Kebijakan Nadiem bukan tanpa pro kontra, namun pada penilaian objektif Nadiem berhasil membuktikan diri. Transformasi sedang berlangsung kritik publik ia tampung untuk menyempurnakan apa yang mungkin masih kurang.
Masih ada sekitar dua tahun sisa waktu masa pemerintahan Jokowi – Ma’ruf. Besar harapan kita agar kerja-kerja saat ini dapat dipanen dimasa yang akan datang. Walau masih banyak pekerjaan rumah penilaian publik memberi rapor biru untuk transformasi yang sedang berlangsung di dalam dunia pendidikan.
Sampai disini penulis adalah salah satu yang optimis memandang perubahan yang sedang berlangsung. Tentu optimisme ini perlu ditularkan agar kita dapat bersama-sama menyongsong tantangan zaman.
Penulis adalah Divisi Hukum dan Advokasi Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia dan Aktivis Nasyiatul Aisyiyah Kabupaten Pangandaran.