Kampanye energi hijau yang dilakukan pemerintah dengan langkah peralihan kendaraan berbahan bakar energi fosil menjadi listrik, masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi dan ahli.
- Hastag #Hastobiangkerok Menggema di Media Sosial
- Partai Gerindra Sentil PDIP Soal PPN 12 Persen: Lempar Batu Sembunyi Tangan
- Al Muktabar Resmi Serahkan Tugas Pj Gubernur Banten, Penggantinya Bukan Orang Sembarangan
Baca Juga
Salah satu yang mengkritisi ha itu, adalah pakar ekonomi senior Indef Muhammad Nawir Messi. Dia mempertanyakan asal usul energi listrik di Indonesia yang akan dipakai menjalankan mobil hijau alias green car.
“Salah satu kritik saya terhadap kendaraan listrik adalah itu dianggap sebagai kendaraan hijau, ramah lingkungan. Listrik ini dari apa?" kata Nawir Messi dalam acara Indef School of Political Economy bertemakan Kebijakan Moneter Global dan Nasional di Tengah Resesi, ITS Tower, Pasar Minggu, Rabu (14/12).
"Kalau misalnya batu bara, jadi konteks apa listrik itu? Ya sama aja dong,” imbuhnya.
Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, kata Nawir, seperti Tesla penjualan mobil listrik dengan paket solar panel sebagai subsidinya. Namun, untuk di Indonesia hal semacam ini akan sulit untuk diberlakukan.
Subsidi solar panel, sambungnya, akan lebih memaksimalkan target energi hijau daripada mensubsidi pembelian unit kendaraan listrik itu sendiri.
“Jadi anda membeli ini (Tesla) mereka akan memasangkan anda itu (solar panel) kalau anda gak punya. Mereka bener-bener green oriented," terangnya.
Pada sisi lain, dia tetap mendukung dengan upaya pemerintah dalam menekan konsumsi energi fosil di di Indonesia.
“Itu sangat bagus banget, ada pengurangan secara perlahan ketergantungan terhadap tenaga fosil, listrik fosil, yang at the end akan fit dengan tujuan kita untuk mendorong industri kendaraan listrik dalam rangka mengurangi emisi,” katanya.
Nawir Messi juga mengingatkan, pemerintah juga harus memastikan infrastruktur untuk kendaraan listrik di Indonesia dicukupi agar masyarakat lebih tertarik beralih pada mobil listrik.
“kalau di Eropa kan di mana-mana ada charger disediakan stasiun charger. Harus paralel ya menyediakan infrastruktur dengan insentifnya. Infrastrukturnya juga harus ditinjau,” pungkasnya.