Sistem dan pelaksanaan pemilu sarat dengan masalah, terutama politik uang yang membudaya dan politik identitas yang meluas. Pemilu sebagai instrumen demokrasi bahkan melahirkan praktik oligarki kekuasaan yang tidak sejalan dengan substansi demokrasi.
- Hastag #Hastobiangkerok Menggema di Media Sosial
- Andra Soni Fokus Rekonsiliasi Jelang Pelantikan Gubernur Banten
- Partai Gerindra Sentil PDIP Soal PPN 12 Persen: Lempar Batu Sembunyi Tangan
Baca Juga
Begitu kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Muti lewat akun Twitter pribadinya, Selasa (3/1). Kicauan ini disampaikan jelang kedatangan komisioner KPU RI ke Gedung Dakwah Muhammadiyah di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat siang ini.
Secara tegas, Abdul Muti turut menyampaikan pandangan Muhammadiyah bahwa sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif perlu diubah.
Tapi, lanjutnya, pemilihan presiden, gubernur, bupati dan walikota secara langsung tidak perlu diubah. Hanya saja mekanisme pilpres, pilgub, pilbup, dan pilwalkot perlu diperbaiki ke arah yang lebih efisien dan efektif.
“Misalnya melalui sistem pemilu tertutup atau terbuka terbatas serta pemilihan eksekutif terintegrasi untuk meniadakan politik uang, ekses politik identitas, dan pembelahan politik masyarakat,” tegasnya.
Bersamaan dengan itu, Abdul Muti menjelaskan bahwa ke depan penting ada mekanisme kontrol. Tujuannya, agar proses dan produk legislasi perundang-undangan maupun peraturan pemerintahan hingga ke kementerian tidak bersifat oligarkis, monolitik, dan tertutup pada aspirasi publik, sehingga bertentangan dengan asas dan substansi demokrasi.