Pembicaraan damai antara pemerintahan Presiden Venezuela Nicolas Maduro dengan oposisinya, Juan Guaido menjadi angin segar bagi negara.
- Bupati Maesyal Turun Tangan Terkait Bocah Tujuh Tahun Dikurung di Rumah Kosong
- Polda Banten Beber Kasus Minyak Goreng Djernih dan MinyaKita, Ternyata...
- Minyak Goreng MinyaKita Tak Sesuai Takaran, Ini 3 Produsennya
Baca Juga
Lantaran seperti dimuat VOA News pada Sabtu (26/11), keduanya sepakat untuk menyalurkan uang ke dana PBB demi memulihkan kondisi negara di tengah krisis, melalui program kesehatan, pangan, dan pendidikan bagi orang miskin.
Fasilitator Norwegia Dag Nylander, yang memandu proses negosiasi menyatakan sumber daya Venezuela yang disimpan dalam sistem keuangan internasional akan diarahkan ke dana tersebut.
Namun Nylander tidak mengatakan apakah pemerintah Amerika Serikat atau Eropa telah setuju untuk mengizinkan aset yang dibekukan di negaranya dapat disalurkan ke mekanisme baru.
Di sisi lain, AS mengapresiasi dialog damai dengan mengizinkan raksasa minyaknya, Chevron, untuk kembali beroperasi di Venezuela setelah bertahun-tahun memberlakukan sanksi.
Melalui perjanjian baru yang dibuat Maduro dan Guaido, keuntungan dari penjualan energi akan diarahkan untuk membayar hutang kepada Chevron.
Meski begitu, uang itu tidak akan dialirkan kepada perusahaan minyak milik negara Venezuela, Petroleos de Venezuela S.A. atau PDVSA.
Menurut data PBB, diperkirakan Venezuela membutuhkan dana kemanusian mencapai 795 juta dolar AS atau setara Rp 12,4 triliun untuk membantu sekitar 5,2 juta orang melalui kesehatan, pendidikan, air dan sanitasi, makanan, dan proyek lainnya.
Di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, AS banyak menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Venezuela dan memberikan wewenang kepada Guaido untuk mengambil alih rekening bank yang dimiliki pemerintah Maduro di Federal Reserve Bank of New York atau bank lain yang diasuransikan AS.
Sekitar 7 juta orang telah meninggalkan Venezuela di tengah krisis politik dan kemanusiaan.
Tiga perempat dari mereka yang tinggal di negara itu hidup dalam kemiskinan eksrem dengan biaya kurang dari 1,90 dolar AS per hari atau setara Rp 30 ribu.