IKADIN: Undang-Undang Ketinggalan Zaman, Penagihan Utang Berbau Otoriter

Focus Group Discussion (FGD) bertajuk
Focus Group Discussion (FGD) bertajuk

Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) menyoroti permasalahan hukum dalam penagihan piutang negara yang diatur oleh Pemerintah


melalui Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Mengungkap Misteri Piutang Negara melalui Pendekatan Multidimensi". Acara ini diadakan di Hotel Morrissey, Jakarta, sebagai bagian dari rangkaian kegiatan IKADIN Legal Update.

Ketua Umum DPP IKADIN, Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., membuka diskusi dengan berbagi pengalaman terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurut Maqdir, terdapat banyak ketentuan yang bermasalah dalam penagihan piutang negara, terutama terkait aset jaminan yang seharusnya mengurangi utang tetapi tidak diperhitungkan. Ia juga menyoroti ketimpangan antara kewajiban warga negara dan penegakan hak oleh pemerintah.

Pembicara lainnya, Dr. Rafael Tunggu dari Universitas Atma Jaya Makassar, menyatakan bahwa pemerintah seharusnya tunduk pada asas perdata, bukan menggunakan instrumen hukum publik untuk penagihan utang. Pendapat serupa disampaikan oleh Dr. Dian Puji Simatupang dari Universitas Indonesia, yang menilai bahwa Perppu No. 49 Tahun 1960 tentang piutang negara sudah tidak relevan dengan perkembangan hukum keuangan modern.

Arsil, peneliti dari LeIP, menegaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2022 mengandung kecacatan karena memungkinkan pemerintah menagih utang secara sepihak tanpa bisa disanggah, yang menurutnya melanggar hak asasi manusia.

Penutupan diskusi dilakukan oleh Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum., Guru Besar dari Universitas Diponegoro. Suteki mengingatkan bahwa tujuan hukum adalah untuk kebahagiaan masyarakat. Ia mengkritik mekanisme penagihan utang saat ini yang dinilai serupa dengan tindakan "debt collector", dan menyarankan agar pemerintah menerapkan pendekatan restorative justice bagi debitur yang tidak mampu membayar.