Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Menelusuri Kembali Legitimasi Surat Paksa sebagai Instrumen Penagihan piutang negara.
- Tanah Rakyat Tersandera Pemkab Belitung, Praktisi Hukum: Kembalikan
- PTUN Pangkal Pinang Kabulkan Gugatan H. Eddy Sofyan terhadap BPN Belitung
- Polda Banten Obok-Obok Tambang Emas Ilegal di Lebak, 10 Tersangka Diproses Hukum
Baca Juga
Dr. Susilo Lestari, S.H., M.H., Wakil Ketua Umum DPP IKADIN, membuka diskusi dengan menekankan pentingnya pemahaman advokat mengenai penagihan piutang negara melalui Surat Paksa. Ia menyebutkan bahwa Surat Paksa bersifat parate executie, setara dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap karena mencantumkan irah-irah.
Namun, Dr. Susilo juga menyoroti potensi penyalahgunaan instrumen tersebut. “Luasnya wewenang Pemerintah ini bisa menjadi bentuk penyalahgunaan wewenang,” ujarnya di Jakarta, Rabu (11/9).
Kepala Research Center Indonesia Center for Tax Law Universitas Gadjah Mada, Dr. Mahaarum Kusuma Pertiwi, menyoroti perbedaan penagihan piutang negara dengan perpajakan.
“Dalam perpajakan, penagihan dilakukan setelah upaya hukum, sementara pada piutang negara, Surat Paksa bisa diterbitkan meskipun Pernyataan Bersama tidak disetujui,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa biaya penagihan pajak tidak boleh melebihi jumlah utang yang ditagih, berbeda dengan penagihan piutang negara yang kurang memiliki ketentuan serupa.
Dr. Djumikasih, S.H., M.H., Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, menilai bahwa penggunaan Surat Paksa dalam penagihan piutang negara menyimpang dari prinsip-prinsip hukum perdata.
Ia menyoroti kejanggalan Pemerintah menggunakan instrumen hukum publik dalam penagihan yang bersumber dari perjanjian perdata. “Piutang negara yang berasal dari perjanjian perdata seharusnya tidak ditagih menggunakan instrumen hukum publik seperti Surat Paksa,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Eko Riyadi, S.H., M.H., mengkritik penggunaan Surat Paksa dari perspektif hak asasi manusia.
“Penggunaan Surat Paksa untuk penagihan piutang negara tidak sesuai dengan norma hukum hak asasi manusia karena tidak proporsional,” ungkap Eko. Menurutnya, jika persoalan ini bisa diselesaikan melalui hukum perdata, seharusnya tidak diperlukan Surat Paksa.
Peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Alfeus Jebabun, S.H., M.H., menyoroti potensi penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan Surat Paksa. Ia mengungkapkan bahwa Surat Paksa dapat digunakan sebagai senjata politik untuk mematikan lawan politik atau memaksa pelunasan piutang.
“Surat Paksa ini dapat dijadikan ancaman jika pihak yang diklaim sebagai debitur membantah keberadaan piutang negara,” ucapnya.
Para narasumber sepakat bahwa isu ini sangat problematik dan berpotensi merugikan masyarakat. Dengan berbagai tantangan politik dalam penggodokan produk legislasi, mereka mengusulkan adanya upaya uji materiil untuk mengoreksi kebijakan ini.
FGD ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan IKADIN Legal Update yang berlangsung selama empat hari, yakni pada tanggal 10, 11, 17, dan 18 September 2024, di Jakarta.