Pemerintah adat Suku Badui menutup kawasan wisata Badui Dalam selama 3 bulan sejak 1 Februari hingga 3 Mei 2025 karena mereka sedang melaksanakan ritual sakral, yaitu upacara Kawalu.
- Skema Ganjil Genap Tol Cikupa-Merak saat Situasi Merah, Berlaku 27-30 Maret
- Brigjen Endar Priantoro Resmi Dilantik Menjadi Kapolda Kalimantan Timur
- Tidak Ada Larangan Truk Angkutan Barang Beroperasi Selama Mudik Lebaran, Ini Kata Menhub
Baca Juga
Merespons gelaran ritual tersebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak pun telah mengeluarkan pengumuman melalui Kepala Desa (Kades) Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, sebagai informasi agar wisatawan tidak memasuki kawasan permukiman suku Badui selama periode yang telah ditetapkan.
Seperti diketahui, Kawalu adalah upacara adat yang dilakukan setelah panen padi huma (padi ladang) selesai dan dimasukkan ke dalam leuit (lumbung padi suku Badui).
Dalam gelaran tersebut, tradisi ini merupakan wujud rasa syukur mereka atas hasil panen yang melimpah.
Adapun dalam upacara Kawalu, masyarakat suku Badui juga berpuasa selama sehari sejak malam hingga sore.
Puasa ini bertujuan untuk menyucikan diri mereka agar terhindar dari nafsu jahat.
Namun, dalam pelaksanaannya, tidak hanya Badui Dalam saja yang melakukannya, karena Kawalu juga masih dilestarikan di lingkungan Badui Luar.
Di Desa Kanekes, upacara ini merupakan suatu kewajiban bagi anak-anak hingga orang tua.
Sedangkan, mereka yang berusia lanjut diperbolehkan untuk tidak berpuasa karena fisiknya tak lagi prima.
Sementara itu, perempuan yang sedang haid dilarang berpuasa karena dianggap tidak suci.
Jika tidak ditaati, pelanggarnya dikenakan sanksi adat dan diyakini akan tertimpa musibah.
Oleh karena itu, wisatawan diharapkan dapat menghormati kepercayaan suku Badui dengan tidak mengganggu ritual mereka selama sebulan penuh.
Dalam kesehariannya, masyarakat suku Badui cukup jarang berinteraksi dengan orang-orang modern, kecuali pada momen-momen tertentu, seperti saat adanya kunjungan wisatawan atau tradisi Seba.
Tradisi Seba ditandai dengan keluarnya masyarakat suku Badui dari wilayah permukiman mereka untuk bertemu Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak sambil membawa berbagai hasil panen mereka.
Masyarakat suku Badui menyimpan beras di dalam leuit. Ukurannya berbeda-beda, tergantung luas ladang mereka.
Adapun leuit biasanya berbentuk seperti rumah panggung tradisional yang ditopang dengan kayu, tingginya sekitar 1-2 meter. Dinding leuit dibuat dari bambu dan atapnya dibuat dari daun palem.
Suku Badui umumnya membuat leuit yang dapat menampung 1,5-3 ton beras. Mereka meyakini beras akan lebih awet jika disimpan di dalam leuit.
Suku Badui benar-benar memanfaatkan apa yang disediakan alam, mereka bahkan tidak menggunakan paku dan triplek. (ant)