Gapura Glodok dan Kesetaraan

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan Gapura Chinatown di wilayah Pancoran, Glodok, Jakarta Barat/Ist
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan Gapura Chinatown di wilayah Pancoran, Glodok, Jakarta Barat/Ist

SATU lagi, ada ikon baru di Jakarta. Kali ini adalah sebuah gapura yang menjulang di mulut Jalan Pancoran, Jakarta Barat. Bangunan ini bernama Gapura Chinatown yang sekaligus menjadi pintu masuk ke kawasan yang sudah masyhur sebagai daerah pecinan di ibu kota.  

Gapura atau dalam bahasa Tionghoa bernama paifang memang lazim berdiri di berbagai kota di dunia. Bangunan berupa gerbang ini merupakan sebuah identitas tentang kawasan yang mayoritas dihuni oleh orang-orang perantauan dari Tionghoa.

Namun, paifang di Glodok ini berbeda dengan gapura lainnya. Tak ada warna-warna merah dan kuning menjadi ciri khas paifang di berbagai tempat, termasuk di negeri leluhurnya sendiri. Di kawasan Pancoran, Jakarta Barat ini paifang justru dominan dengan warna abu-abu.  

Keunikan ini pula bukan tanpa arti. Gapura Chinatown tak hanya sebagai gerbang melainkan sebagai simbol persatuan dan kesetaraan warga di Jakarta. Sekaligus juga merupakan pertanda bahwa di sana telah berlangsungnya proses akulturasi dan pergaulan yang cair antara bermacam etnik.

Hal itu bisa dilihat dari warna-warna lainnya di gapura itu seperti cokelat genteng, serta unsur warna hijau perpaduan budaya Betawi, dengan tulisan berwarna coklat kayu.

Gapura ini juga menambah literasi baru bagi warga Jakarta. Sebelumnya, banyak yang tidak paham bahwa di sana pernah ada gapura serupa yang berdiri sejak sekitar abad ke-18. Kemudian pada 1938, gapura ini pernah mengalami renovasi. 

Namun, ketika pendudukan Jepang gapura tersebut dirobohkan. Setelah itu, selepas Jepang kalah perang dan pergi, bangunan itu tidak pernah ada lagi. Gapura itu pun lenyap dalam sejarah.

Hingga akhirnya rencana revitalisasi gapura tersebut muncul pada 2018. Namun dalam perkembangannya, pembangunannya belum terlaksana. Terlebih saat pandemi Covid-19 datang. Barulah, pada 30 Juni 2022 lalu paifang ini kembali berdiri.

"Kami ingin Jakarta bisa menghargai warisan budaya yang ada di kota ini. Kota ini kota global dimana warga berinteraksi dengan masyarakat dunia. Kawasan Chinatown bukti interaksi global itu," kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat peresmian.

Anies Baswedan menyatakan pembangunan gapura tersebut merupakan partisipasi dan persembahan masyarakat keturunan Tionghoa di Jakarta. Untuk itu, dia pun mengapresiasi yang telah dilakukan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti) dalam kolaborasi merealisasikan proses pembangunan gapura itu.

Namun aspirasi semacam itu bila tidak direspons secara positif bisa jadi gapura ini tetap menjadi cerita belaka. Tanpa tindakan Pemprov DKI Jakarta, gapura ini tidak akan berdiri. 

Hal ini tentu mengingatkan kita pada yang pernah dilakukan oleh Presiden Indonesia keempat KH Abdurrahman Wahid. Pada 9 April 2001, Presiden yang disapa Gus Dur mengambil langkah yang tidak pernah terbayangkan yakni menetapkan Hari Imlek sebagai hari libur. 

Padahal, selama lebih dari 30 tahun, umat Konghucu Indonesia melaksanakan perayaan Tahun Baru Cina secara tertutup. Ketetapan ini dituangkan dalam Instruksi Presiden atau Inpres Nomor 14 tahun 1967.

Jelas ini merupakan tindakan diskriminatif. Padahal, etnis Tionghoa merupakan bagian dari warga negara Indonesia. Hal ini yang ditentang Gus Dur. Baginya, sejatinya tidak ada istilah keturunan bagi warga Indonesia. Pemisahan pribumi dan non pribumi adalah kekeliruan yang membuat masyarakat Tionghoa terpinggirkan. 

Dengan menerbitkan Ketetapan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 seluruh tindakan diskriminatif itu dihapus. Warga Indonesia penganut Konghucu bisa memeroleh kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka, termasuk upacara keagamaan seperti Imlek secara terbuka.

Kesetaraan sesama warga negara itu pula yang kemudian diusung dan dilanjutkan oleh Anies Baswedan. Sebagai gubernur dari sebuah wilayah yang berisi suku yang heterogen, berlaku non diskriminatif menjadi sebuah keharusan. Termasuk dalam soal sejarah yang menghiasi kota ini.

Setelah berdiri, pada akhirnya gapura ini tidak lagi semata menjadi nilai tambah untuk menarik wisatawan, tetapi juga sebagai pengingat dalam merawat nilai-nilai tradisi yang telah diwariskan para pendahulu. Tentu kita sepakat bahwa gapura ini dapat menjadi salah satu simbol persatuan dan kesetaraan warga di Jakarta.  

Seperti yang kerap kali disampaikan Anies, semua warga kota dan negeri ini sepakat bahwa keberagaman yang ada di negeri ini merupakan karunia dari Yang Maha Kuasa. Namun, untuk menjaganya dalam sebuah persatuan yang rekat dan hangat merupakan ikhtiar kita bersama.

Beni Kusuma

Penulis adalah penjelajah kota