Subsidi BBM yang selama ini dilakukan pemerintah dinilai kurang tepat sasaran. Pasalnya, penggunaan BBM bersubsidi justru didominasi oleh masyarakat mampu.
- Hastag #Hastobiangkerok Menggema di Media Sosial
- Andra Soni Fokus Rekonsiliasi Jelang Pelantikan Gubernur Banten
- Partai Gerindra Sentil PDIP Soal PPN 12 Persen: Lempar Batu Sembunyi Tangan
Baca Juga
“Di waktu lalu ketika pemerintah menaikkan harga Pertamax, pengguna beralih memakai Pertalite. Di sinilah kami lihat ada upaya mengambil hak ekonomi masyarakat kelas bawah,” kata Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Bidang Pembangunan Energi, Migas dan Minerba (PEMM), Muhamad Ikram dalam keterangannya, Sabtu (10/9).
Belajar dari pengalaman tersebut, ia menilai subsidi yang selama ini digelontorkan harus dialihkan langsung kepada manusianya, bukan komoditinya.
“Kalau misalkan yang disubsidi manusianya, maka kemampuan dan daya beli masyarakat itu meningkat,” tegasnya.
Selain itu, pemerintah juga harus mengalokasikan APBN untuk hal-hal yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat, seperti pendidikan, infrastruktur, kesehatan, UMKM dan lain sebagainya.
Pemerintah telah resmi menaikkan harga BBM jenis Pertalite yang sebelumnya Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. BBM jenis Solar yang sebelumnya Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Lalu BBM jenis Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500.
Sejalan dengan kenaikan tersebut, pemerintah mengalihkan subsidi BBM ke bantuan sosial dengan total dana subsidi Rp 24,17 triliun. Skema pertama, Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 12,4 triliun yang diberikan kepada 20,65 juta keluarga penerima manfaat.
Skema kedua, Bantuan Subsidi Upah (BSU) dengan total bantuan Rp 9,6 triliun. Bantuan ini diberikan kepada 16 juta pekerja dengan gaji maksimal Rp 3,5 juta per bulan.
Ketiga, dana bantuan subsidi pemerintah melalui anggaran daerah dari pos Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) senilai 2 persen.